Jakarta – Gelombang protes terhadap Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Yandri Susanto terus memanas. Sejumlah wartawan dan aktivis dari berbagai daerah menggelar aksi di berbagai tempat untuk Kementerian Desa PDTT, menuntut transparansi dan mengecam dugaan perlindungan terhadap praktik korupsi di tingkat desa.
Menteri Yandri Susanto menjadi sorotan setelah pernyataannya yang menyebut "wartawan Bodrex" menuai kecaman luas. Pernyataan itu dianggap merendahkan profesi jurnalis dan aktivis yang selama ini mengawasi penggunaan Dana Desa.
Para pengunjuk rasa menuding bahwa kebijakan Mendes PDTT justru membatasi akses informasi publik dan menciptakan sistem perlindungan bagi kepala desa (kades) yang terindikasi korupsi. Salah satu yang dipersoalkan adalah implementasi aplikasi Desa Siaga, yang diduga digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pengelolaan Dana Desa.
Bahkan, aparat hukum disebut telah diperintahkan untuk menindak tegas wartawan dan LSM yang mencoba mengawasi kebijakan kepala desa. Hal ini semakin memperkuat dugaan adanya konspirasi antara Kementerian Desa, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), serta Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dalam melindungi praktik korupsi Dana Desa.
Desa Dibebani Setoran Puluhan bahkan ratusan Juta untuk "Keamanan"
Sejumlah laporan dalam pemberitaan dari berbagai media mengungkap dugaan bahwa pejabat APIP dan PPID turut terlibat dalam praktik korupsi Dana Desa. Kepala desa disebut harus menyetor puluhan hingga ratusan juta rupiah agar anggaran mereka mudah dan tidak dipersulit. Jika menolak, mereka dihadapkan pada berbagai ancaman administratif hingga kriminalisasi.
Beberapa poin Dugaan bentuk tekanan yang dialami kepala desa antara lain:
1. Pemblokiran Anggaran – Proposal Dana Desa dipersulit di tingkat kecamatan dan kabupaten.
2. Audit Bermuatan Kriminalisasi – Inspektorat daerah bisa menjadikan kepala desa sebagai tersangka jika tidak mengikuti arahan tertentu.
3. Titipan Proyek dan Pemotongan Anggaran – Kepala desa dipaksa mengikuti bimbingan teknis (Bimtek) serta mengambil proyek pengadaan tertentu.
Padahal, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 telah mengamanatkan transparansi dalam penggunaan anggaran publik. Namun dalam praktiknya, laporan pertanggungjawaban keuangan desa (LPJ DD) seolah dijadikan dokumen rahasia yang sulit diakses masyarakat.
Tuntutan Kembali mengarah ke dewan pers .
Wilson Lalengke: "Bubarkan Dewan Pers!"
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, turut angkat suara. Ia menilai Dewan Pers sudah tidak relevan dan justru menjadi penghambat demokrasi.
“Ini adalah bentuk pemikiran konyol dan dungu. Wartawan dan LSM hadir untuk mengawasi jalannya pemerintahan, bukan untuk dikriminalisasi,” tegasnya dalam pernyataan kepada jaringan media nasional, Minggu (2/2/2025).
Lalengke juga menuding Dewan Pers memelihara diskriminasi terhadap wartawan, yang berakibat pada pembungkaman pers. Ia mengingatkan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengancam hukuman pidana bagi siapa pun yang menghambat kerja jurnalistik.
“Di era digital ini, semua warga negara berhak menjadi jurnalis. Dewan Pers hanya menjadi batu sandungan demokrasi,” tandasnya.
Begitu juga dari FPII ikut Desak Pembubaran Dewan Pers
Sejalan dengan Lalengke, Forum Pers Independent Indonesia (FPII) juga menggelar aksi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Ketua Presidium FPII, Dra. Kasihhati, menegaskan bahwa Dewan Pers tidak lagi melindungi insan pers, melainkan menjadi alat kepentingan penguasa.
“Dewan Pers telah menghancurkan kemerdekaan pers di Indonesia. Kami menuntut Dewan Pers dibubarkan!” serunya.
Sekretaris Nasional FPII, Irfan Denny Pontoh, S.Sos, menambahkan bahwa dirinya pernah menjadi korban kriminalisasi akibat rekomendasi Dewan Pers yang digunakan aparat hukum untuk menjerat wartawan.
"Saya hampir dua tahun menjadi tersangka karena kesaksian ahli Dewan Pers. Ini bukti nyata bahwa Dewan Pers menjadi alat represi terhadap pers,” tegasnya.
Selain menggelar aksi di Dewan Pers, massa FPII juga mendatangi Kementerian Komunikasi dan Digital, menuntut penghentian proses seleksi anggota Dewan Pers yang tengah berjalan. Mereka menilai anggaran miliaran rupiah yang dikucurkan untuk Dewan Pers tidak sebanding dengan kinerjanya.
Desakan Transparansi dan Reformasi
Gelombang protes ini menunjukkan ketidakpuasan terhadap pengelolaan Dana Desa dan peran Dewan Pers dalam menjaga kebebasan pers.
Publik kini menantikan respons pemerintah: apakah tuntutan ini akan ditindaklanjuti, atau justru upaya pemberangusan kebebasan pers dan transparansi publik semakin diperkuat?
0 Komentar